RUMAH ADAT MBARU NIANG, OBYEK WISATA ALAM DI NTT |
Rumah Adat Mbaru Niang adalah rumah adat yang ditemukan di salah satu kampung adat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Rumah adat tepatnya terletak di Kampung Wae Rebo, dan terpencil di atas pegunungan dengan ketinggian 1.117 mdpl.
Dikelilingi pegunungan dan
hutan hujan tropis di Kabupaten Manggarai Barat, Wae Rebo berbatasan langsung
dengan Taman Nasional Komodo. Di sanalah rumah adat dengan ketinggian mencapai
sekitar 15 meter bisa ditemukan. Rumah itu memiliki atap
berbentuk kerucut yang menjulang tinggi, terbuat dari daun lontar yang ditutupi
ijuk. Berbentuk kerucut, sisi bawah dari atap itu menjulur hingga hampir
menyentuh tanah.
Menurut Fransiskus Mudir,
pemimpin di Wae Rebo Tourism Organization, bentuk kerucut dari Mbaru Niang merupakan
simbol perlindungan dan persatuan antarrakyat Wae Rebo. Sementara itu, kata
dia, lantainya yang berbentuk lingkaran melambangkan sebuah harmonisasi dan
keadilan antarwarga dan keluarga. Rumah adat Mbaru Niang
memiliki lima lantai di dalamnya. Di kelima lantai Mbaru Niang, terdapat
berbagai ruangan dengan masing-masing fungsi.Misalnya, di lantai pertama
ada ruang lutur yang digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpulnya
keluarga. Kemudian, loteng atau lobo ada di lantai kedua yang difungsikan sebagai
penyimpanan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari.
Selanjutnya, di lantai
ketiga ada lentar yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan.
Lalu ada lempa rae di lantai empat untuk menyimpan stok pangan untuk
mengantisipasi kekeringan. Dan yang terakhir di lantai kelima ada hekang kode
yang digunakan sebagai tempat sesajian bagi para leluhur. Rumah yang terbuat dari kayu
worok dan bambu itu dibangun tanpa paku. Di Mbaru Niang, konstruksi bangunan
saling terikat dengan menggunakan tali rotan yang sangat cukup kuat. Dalam satu
Mbaru Niang, dihuni oleh enam hingga delapan keluarga.
Bangunan Mbaru Niang terus
terjaga oleh warganya dari generasi ke generasi.Warga Wae Rebo sudah menghuni
Mbaru Niang sejak sebelum abad ke-18. Hingga kini, ada 7 Mbaru Niang di Wae
Rebo. Jumlah tersebut tidak secara sembarangan ditetapkan. Melainkan,
mengandung arti penghormatan terhadap 7 arah gunung yang ada di sana dan
diyakini berfungsi sebagai pelindung Kampung Wae Rebo. Semua rumah Mbaru Niang
berdiri di atas tanah datar yang dibangun mengelilingi sebuah altar yang
disebut warga setempat sebagai Compang, titik pusat dari ke-7 rumah adat itu.
Compang berguna untuk memuji dan menyembah Tuhan, juga para roh leluhur.
Saat ini, Wae Rebo menjadi
satu-satunya desa adat di Manggarai yang masih mempertahankan eksistensi Mbaru
Niang. Sebenarnya di Desa Todo juga terdapat Mbaru Niang. Hanya saja, rumah
adat itu tidak lagi ditinggali. Berbeda dengan Mbaru Niang yang ada di Kampung
Wae Rebo.
Keunikan rumah Mbaru Niang dan
panorama alam di Wae Rebo yang memang begitu indah membuat banyak orang
tertarik untuk datang. Kampung Wae Rebo kini menjadi salah satu tujuan favorit
wisatawan lokal hingga mancanegara. Karena keunikannya itu, pada
2012 Mbaru Niang mendapat penghargaan dengan kategori konservasi warisan budaya
dari UNESCO Asia-Pasifik dan menjadi salah satu kandidat
peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur pada 2013.
Kabut tipis yang selalu
mengelilingi perkampungan dengan suhu 15 derajat celcius di pagi hari, juga keindahan
panorama, dan keunikan rumah Mbaru Niang, lengkap dengan sekaligus keramahan
khas penduduk setempat membuat kita ingin berlama-lama berada di Wae Rebo.
Demi bisa menjangkau kawasan
unik dan indah itu, wisatawan harus menempuh perjalanan kurang lebih 6
kilometer dari Desa Dintor menuju Desa Denge menggunakan kendaraan. Kemudian,
dari Denge menuju Wae Rebo ditempuh dengan 3-4 jam perjalanan mendaki, sejauh
sekitar 9 kilometer. Lelah mendaki akan
terbayarkan ketika sampai di Wae Rebo. Tanah Flores memang acap menjanjikan
keistimewaan bagi para wisatawan.